Home | Download | About Us

Rabu, 06 Oktober 2010

Masalah Dunia Pendidikan


Oleh : Abduh RH Muhammad

Pendidikan di Indonesia kini mengalami berbagai masalah kronis pada setiap ranahnya. Ini akibat bahwa pendidikan hanya dinilai sebatas sekolah atau pemberantasan buta huruf.

Pendidikan bermula dari ketidakpedulian atau ketidaktahuan para penyelenggara negara. Akhirnya kini pendidikan kita mengalami berbagai masalah kronis pada setiap ranahnya: fundamental, struktural, operasional, finansial, dan kultural, kata Dr Mohammad Abduh Zein, MHum dari Institut for Education Reform (IER) Universitas Paramadina Jakarta pada seminar Pendidikan Nasional Pelajar Islam Indonesia (PII) di Wisma Antara Jakarta, Minggu.


Abduh memaparkan, secara fundamental pendidikan kita tidak memiliki kejelasan filosofi yang mampu menjawab pertanyaan mengenai untuk apa pendidikan (persekolahan) diselenggarakan, Kekaburan paradigma ini menyebabkan operasi pendidikan kita mengalami ketidaktepatsasaran, tidak menjawab kebutuhan dan persoalan masyarakat pendukungnya.

Gejala umum mismatch itu menurut Abduh, ditunjukkan oleh kapabilitas yang selain tidak memiliki kesesuaian kualifikasi dalam konteks perekonomian, tetapi juga ketidaksiapan mental, misalnya etos kerja, keterampilan, entrepreneurship, dan leadership, untuk meng-handle keberlangsungan sebuah negara modern yang beradab.

Menurutnya, sangat ironi, anak petani yang semakin tinggi pendidikannya atau para alumni fakultas pertanian, semakin tidak tertarik pada bidang pertanian. Kita memiliki sekolah, fakultas, jurusan, dan institut pertanian sejak dahulu kala, tetapi setelah 63 tahun merdeka, negeri agraris nan luas ini sektor pertaniannya tetap merana. Konon tujuh dari komoditas pokok non beras kita tergantung pada Asing; delapan dari 10 lulusan IPB tidak bekerja pada bidang pertanian.

Kini jurusan Pertanian dan Kehutanan di perguruan tinggi menjadi program jenuh yang tak diminati calon mahasiswa. Bidang kelautan juga sudah lama kita membanggakan keluasan samudera dan kekayaan laut nusantara, tetapi baru belakangan ini studinya digalakkan, ucapnya.

Kemudian, secara struktural, politik pendidikan kita, menurut Abduh, dari masa ke masa dijalankan dengan naluri dan spekulasi para penguasa, dan tidak mengacu kepada prinsip-prinsip ilmiah ilmu pendidikan dan pengalaman negara-negara maju. Kebijakan pendidikan nasional seringkali didasarkan atas trial and error, hit and run, dan kick and rush, sehingga menghasilkan berbagai anomali dalam operasionalisasinya.

Abduh memberi contoh, anomali itu dewasa ini tampak dalam berbagai gagasan atau kebijakan seperti World Class/Research University, Sekolah Internasional/unggul (SBI), Badan Hukum Pendidikan (BHP), Sertifikasi Portofolio, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Olimpiade Sains, dan Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Ini merupakan cermin dari birokrasi pendidikan kita disusun atas dasar ideologi korupsi dan dihuni oleh orang-orang yang tidak memuliakan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan guru. Akibatnya, berbagai kebijakan implementasinya seringkali mengalami kendala pada meja para birokrat pendidikan.

Pada tingkat operasional, praktik pendidikan kita ditandai oleh kekacauan kurikulum dan birokratisasi pembelajaran. Sebagai akibat ketidakjelasan visi dan berbagai kepentingan politik, maka kurikulum pendidikan kita terombang-ambing tanpa tujuan, dengan beban yang semakin sarat.

Sementara metodologi dan kinerja guru diabaikan hampir tak tersentuh pembaruan. Kearifan dan wawasan guru semakin berkurang menjadikan pembelajaran sekedar sebuah proses transaksional yang hampa. Dalam situasi itu tidak mengherankan apabila problem utama sekolah kita adalah praktik kelas yang membosankan, jelasnya.

Abduh menambahkan, buruknya penampilan guru ini diperkuat pula oleh data depdiknas tahun 2004 yang menyatakan bahwa 49,3 persen guru SD, 35,9 persen guru SMP, 32 persen guru SMA, dan 43,3 persen guru SMK tidak layak mengajar. Sementara ketidaksesuaian tugas dengan latarbelakang pendidikan Guru tercatat SMP berkisar 73 persen, dan guru SMA di atas 75 persen.

Dari sisi finansial, Abduh menjelaskan, ketentuan amandemen UU 45 pasal 31 ayat 4 menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD. Pada mulanya prosentase tersebut tidak termasuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Tetapi setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), kedua item tersebut dimasukkan dalam besaran anggaran pendidikan.

Maka setelah berkali-kali pemerintah tidak mematuhi ketentuan UU tersebut, dan lantaran itu MK tiga kali memutus pemerintah bersalah, kini anggaran pendidikan mencapai 20 persen termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan. Pemerintah Daerah pun pada umumnya memasukkan kedua komponen tersebut dalam anggarannya, ujarnya.

Setelah mengalami kenaikan anggaran, Depdiknas kemudian menjadikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai dasar untuk Sekolah Gratis bagi pendidikan dasar. Ide sekolah gratis sangat menarik dan perlu dikelola dengan lebih serius agar ia tidak berhenti pada upaya politisasi pendidikan, paparnya.
Meskipun anggaran pendidikan mengalami kenaikan, biaya pendidikan menengah dan tinggi justru semakin mahal. Biaya Pendidikan tinggi diprediksi akan semakin tak terjangkau oleh anak bangsa yang berekonomi lemah setelah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) diterapkan, ungkapnya.
 
Keengganan pemerintah menganggarkan biaya pendidikan yang lebih besar, sesungguhnya bukanlah disebabkan ketiadaan dana, menurutnya karena rendahnya kemauan politik. Para pengambil kebijakan pada umumnya mempersepsi pendidikan secara parsial dan memahami secara keliru tentang peran pemerintah dan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan. Pendidikan dipandang an-sich, terlepas dari pembangunan ekonomi dan budaya. (dik/ban)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar